kak seto cahaya terang anak
Tak Selamanya
Bunga Merekah
Seto Mulyadi lahir
dari pasangan Mulyadi Effendi dan Maryati, yang notabene adalah keluarga yang
biasa-biasa, tak membuat tokoh pembela anak berkelahiran Klaten, 28 Agustus
1951 ini menjadi sosok orang yang senang mengeluh akan kondisinya. Justru ia
bersama dengan saudara kembarnya, Kresna Mulyadi menghabiskan masa kecilnya
dengan penuh keceriaan dan bernaung kasih sayang yang mereka dapatkan dari
kedua orang tua mereka. Hidup beraliran nakal dan tak bisa diam, acap kali
membuat Seto kecil merelakan fisiknya terluka karena tingkah lakunya tersebut.
Hingga suatu ketika keningnya harus dijahit karena cedera saat bermain. Dan
luka tersebut masih membekas hingga ia beranjak dewasa, sehingga ia harus
berpenampilan monoton dengan rambut berponi.
Masa
kecil Seto bertambah bahagia ketika hadir seorang adik yang bernama Arief
Budiman. Kecintaan Seto kepada anak kecil, terkhusus adiknya, pun bak bunga
yang semakin merekah. Namun sayang, cinta yang ia berikan kepada adiknya harus berkakhir
ketika adik Seto berusia 3 tahun. Arief Budiman meninggal karena sakit campak
yang dideritanya. Meski suasana duka menyelimuti relung hatinya yang paling
dalam, namun ternyata meninggalnya sang adik tak membuat Seto menjadi benci
atau pun anti dengan anak kecil, justru hal itu membuat Seto ingin selalu
menjaga anak kecil dan menekuni dunia anak. Masa kecilnya pun dihabiskan Seto
bersama saudara kembarnya untuk mendapat pendidikan tingkat pertama, yaitu di
SD Ngepos, Klaten pada tahun 1957.
Ketika Roda
Berputar 1800
Lulus
pada tahun 1963, Seto pun melanjutkan belajarnya di SMK, Klaten. Cobaan pun datang menerpa kepada Seto ketika ia
duduk di bangku kelas 3 SMK. Ia harus kehilangan orang yang ia sayangi untuk
kedua kalinya. Ayahnya, yang menjabat sebagai direktur perusahaan perkebunan
negara di Klaten, tutup usia pada tahun 1966 di kala Seto berusia 15 tahun.
Sepeninggal Mulyadi, tak hanya duka mendalam yang membekas di hati, namun juga kepergian
ayah Seto membuat roda ekonomi keluarganya berubah seratus delapan puluh
derajat, dari kecukupan menjadi serba kekurangan. Kehidupan keluarga Seto pun
mau tidak mau harus memulai babak baru dengan jeri payah yang amat sangat. Agar
putra-putranya mendapat penghidupan yang lebih baik, akhirnya Maryati, ibunda Seto,
menitipkan Seto beserta kakak dan saudara kembarnya kepada bibi mereka yang bernama
Martiningrum di Surabaya. Seto dan Kresna pun kemudian melanjutkan sekolah di
sekolah gedongan, SMA St.Louis berkat bantuan seorang pastur. Namun, bagi Tong,
panggilan akrab Seto, pertolongan bibi dan menjadi siswa SMA St. Louis bukanlah
pil mujarab yang bisa mengubah nasib. Seto menyadari bahwa dua hal ini bisa
menjadi titik awal perjuangaanya merubah nasib. Surabaya akan menjadi lapangan
untuk menimba ilmu dan pengalaman, serta tempat untuk mengawali perjuangan.
Pertama
masuk SMA, Seto dan saudara kembarnya, Kresna, masih mengenakan celana pendek, seragam
mereka sewaktu di SMP, maklum saat itu mereka belum mampu membeli seragam.
Meskipun demikian, Seto tidak menjadi rendah diri dan tetap menjaga harga diri.
Figurnya yang bersahabat membuatnya cepat menyesuaikan diri dengan khalayak. Dalam
waktu singkat saja, Seto sudah mempunyai banyak sahabat. Ia mudah bergaul,
sehingga disukai banyak teman-temannya. Wajar saja jika ia berhasil merebut
kursi nomor satu di organisasi sekolah, Seto berhasil menjadi ketua OSIS,
sedangkan saudara kembarnya menjadi sekretarisnya.
Berjalan
kaki dari rumah ke sekolah sudah menjadi rutinitas Seto dan Kresna. Seto pun
juga tak pernah menikmati makanan di kantin sekolahnya dengan uang saku
sendiri. Ia hanya bisa melihat orang-orang menikmati makanan di kantin, sambil
menahan lilitan perut yang keroncongan. Saat orang-orang meninggalkan kantin, Seto
langsung menghampiri sisa bakso dan makanan ringan yang tidak dimakan oleh
pemiliknya, kemudian melahapnya. Karena kasihan, terkadang penjual memberi tambahan
sedikit untuk Seto.
Sembari
sekolah, Seto bekerja sebagai pedagang asongan, penjual koran, tas anyaman dan
balon. Seto bersedia bekeja apapun asalkan halal dan bisa sambil bersekolah.
Selain berdagang, Seto juga produktif menulis rubrik khusus bagi anak-anak
majalah Bahagia dan majalah Kuncung. Dalam tulisan-tulisannya,
ia selalu menggunakan nama “Kak Seto”. Dari situlah nama Kak Seto lebih dikenal
dari nama aslinya, Seto Mulyadi. Walau ia sekolah sambil bekerja dan aktif dalam
kegiatan OSIS, namun nilai rapornya selalu bagus. Ia memiliki keinginan
melanjutkan sekolahnya di Fakultas Kedokteran dan menjadi seorang dokter.
Impian dan Kenyataan Tak Sehaluan
Lulus
dari SMA St.Louis pada tahun 1969 dengan bermodalkan nilai bagus, ia mendaftarkan
diri di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan juga di Universitas
Airlangga. Namun dewi fortuna tidak berpihak kepadanya, meskipun nilainya
bagus, Kak Seto tidak diterima di Fakultas Kedokteran seperti yang ia
impi-impikan. Dirinya semakin tertekan tatkala ia melihat Kresna diterima di
kedokteran dan kakaknya, Ma’ruf, masuk AKABRI. Dari kekecewaannya itu, ia
memutuskan untuk pindak ke Jakarta meski tanpa bekal dan keahlian apapun.
Pada tahun 1970, hanya
dengan meninggalkan sepucuk surat kepada sang Ibu, Tong berangkat tanpa pamit
berniat mencari peruntungan lain ke Jakarta. Tanpa arah dan tujuan, ia mencoba
meneruskan hidup, walau harus tinggal di garasi milik keluarga seorang teman
yang ia kenal saat perjalanan ke Jakarta. Kak Seto memulai semuanya dari bawah
sebagai tukang cuci di hotel, menjadi pembantu rumah tangga, hingga menjadi
tukang semir sepatu di Blok M. Dengan
pengalaman jeri payah yang telah ia dapatkan di Surabaya sewaktu remaja,
pekerjaan yang ia jalani sekarang sudah bukan menjadi hal yang asing lagi
baginya. Kak Seto sudah biasa tertempa segala kesulitan dan penderitaan seperti
itu. Ia merasa ketegaran dan daya juangnya yang tak kenal lelah menghadapi
berbagai rintangan berkat dorongan Ibunya. Menurut Kak Seto, orang yang paling
berpengaruh dalam pembentukan karakternya adalah Ibundanya dan Soekarno.
Dibalik kesibukannya
sebagai pekerja serabutan, ia selalu menyempatkan waktu untuk menonton acara
televisi yang diasuh oleh Bu Kasur, yang mana acara tersebut mengangkat tema
tentang anak-anak. Karena kesenangan dan
kecintaannya kepada anak-anak sedari ia kecil, akhirnya ia memutuskan untuk
mencari rumah Bu Kasur dengan niat berguru. Alhasil, Pak Kasur menerima Kak
Seto lalu membawanya ke Taman Kanak-Kanak Situ Lembang, Jakarta Pusat, dan
menjadikan Kak Seto sebagai asistennya. Kegigihan dan kecintaan Kak Seto kepada
anak-anak, membuat hati Pak Kasur tergugah dan menyarankan Kak Seto berpindah
mengambil kuliah psikologi di Universitas Indonesia (UI), setelah ia gagal lagi
mendaftar sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia.
Inilah Jalanku
Pada tahun 1972 Kak
Seto resmi menjadi mahasiswa psikologi UI. Selama ia kuliah, ia masih setia
membantu Pak Kasur, malah ia juga menjadi seorang pembantu dan pengasuh anak di rumah Direktur Bank Indonesia saat itu,
Soeksmono Martokoesoemo. Setiap hari
bersandingan dengan anak kecil, membuat Kak Seto semakin memantapkan karirnya
di dunia anak, yang mana ia membawakan acara Aneka Ria Taman Kanak-Kanak di
TVRI bersama Henny Purwonegoro. Kak Seto bernyanyi, mendongeng, dan bermain
sulap pada acara tersebut. Dengan
bonekanya Si Komo berikut lagunya, ia pun makin lekat dengan anak-anak. Dan,
ekonominya pun mulai membaik, hingga setelah menggondol gelar sarjana psikologi
pada tahun 1981, Kak Seto mengundurkan diri dari keluarga Soeksmono.
Setahun
setelah diwisuda, pada tanggal 16 Juni 1982 Kak Seto mendirikan TK Mutiara
Bangsa di Jl. Muhammad Yamin no 45 Menteng. Begitu tahu yang mengelola sekolah
tersebut Kak Seto, maka mereka yang tinggal di kawasan Menteng berlomba-lomba
memasukkan anaknya ke TK Mutiara bangsa. Belum puas hanya di situ, Kak Seto
menggagas Istana Anak-Anak Indonesia (Children Center) di TMII. Pada tahun 1983, proposal yang ia ajukan mendapat persetujuan dari Ibu Tien
Soeharto dan ia ditunjuk oleh Ibu Tien Soeharto untuk mengepalai pembangungan
Istana Anak- Anak di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada tahun 1986 Istana Anak-Anak di TMII diresmikan oleh presiden
Soeharto.
Tahun 1987, pendiri
Yayasan Mutiara Indonesia ini menikahi Deviana, wanita yang terpaut 20 tahun
lebih muda. Ia pun membeli rumah di kawasan Cirendeu. Di halaman rumahnya ia
bangun sarana bermain untuk anak-anak. Bersama sang istri, Kak Seto memiliki
empat buah hati yaitu Eka Putri Duta Sari, Bimo Dwi Putra Utama, Shelomita
Kartika Putri Maharani, dan Nindya Putri Catur Permatasari. Bermoto “bangsa
yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak” membuat Seto konsisten
terjun ke dunia anak-anak. Ia juga mengatakan enggan terjun ke dunia politik.
Kak Seto selalu berpesan, maraknya penculikan, penganiayaan dan perdagangan
anak yang terjadi akhir-akhir ini mengharuskan orang tua selalu berperan aktif
dalam menjaga anak-anak walau dengan kesibukan yang menyita waktu dan perhatian
orang tua. Orang tua harus peduli terhadap hak anak, termasuk hak untuk
mendapat perlindungan. Dalam pesannya, ia mengatakan bahwa orang tua harus
sadar, bahwa anak tidak cukup mampu untuk melindungi diri sendiri. Di satu sisi
harus dilatih langkah-langkah awal, sepert berani teriak, jangan pergi ke
tempat yang sepi, memakai perhiasan yang belebihan. Dan orangtua harus
mengetahui setiap detik di mana anak-anak berada.
Konsisten dengan
pesannya, dibalik kesibukan Kak Seto dalam pengabdiannya kepada negara ternyata
ia selalu memikirkan urusan keluarganya dan menanamkan sejak dini kepada anak
dan isterinya untuk belajar saling terbuka terhadap semua permasalahan. Hampir
setiap Sabtu, Kak Seto bersama keluarganya melakukan Sidang Umum Permasalahan
Rumah. Di saat itulah keluarga Kak Seto mulai saling terbuka, saling kritik
mengenai semua permasalahan di rumah, sehingga tidak ada lagi masalah yang
mengganjal di antara keluarga. Malahan, sesekali, ketika Kak Seto akan
berkunjung ke suatu tempat, ia mengajak keluarga agar mereka tahu, bagaimana
pekerjaan yang dikerjakan oleh Seto. Maka dari itu, meskipun Kak Seto selalu
sibuk, tetapi Deviana dan keempat anaknya, tidak pernah komplain dalam urusan
rumah tangga.
Atas
pengabdiannya pada dunia anak-anak, yang sampai kapan pun akan terus
dilakukannya, Kak Seto dianugerahai sejumlah penghargaan. Di antara lain Peace
Mesengger Award dari Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellar, 1987. Kemudian, walau
tak pernah terlintas dalam benaknya, sejak 1998 Seto dipercaya sebagai Ketua
Komnas Perlindungan Anak (KPA). Sebagai Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto
berharap supaya semua orang menganggap setiap hari adalah hari anak. Bagi Kak
Seto, hari anak bukan cuma tanggal 23 Juli saja, tapi setiap hari adalah hari
untuk anak. Sehingga anak-anak Indonesia sekarang, apalagi yang terpinggirkan,
bisa memperoleh hak-haknya sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik
dan menjadi putra-putri bangsa yang terbaik untuk bangsanya. Ketika terjadi
bencana alam gempa dan tsunami di Aceh, Seto Mulyadi termasuk salah seorang
yang dibuat kelabakan. Saat itu, ribuan anak terpisah bahkan kehilangan orang
tua dan sanak saudara. Di kamp pengungsian, ia memperkirakan jumlah anak bisa
mencapai 300 ribu. Lebih mengerikan lagi, anak-anak terlantar ini terancam
menjadi korban trafficking alias perdagangan anak. Oleh karena itu buru-buru ia
mengingatkan perlunya pelarangan adobsi anak-anak Aceh. Untuk menolong
anak-anak korban bencana di Aceh, Seto berkarya bersama pemerintah
merealisasikan pembentukan Trauma Center. Pendirian Trauma Center ini ditujukan
untuk menangani gangguan traumatis pada anak-anak Aceh yang menjadi korban
bencana alam dahsyat tersebut. Motonya ialah bangsa yang besar adalah bangsa
yang mencintai anak-anak. Obsesi yang belum terpenuhi adalah membuat sebuah
teori untuk dunia anak baik di Indonesia maupun di dunia.
Jejak kak seto
Karir:
1) Ketua Pelaksana Pembangunan Istana Anak-Anak Taman Mini Indonesia
Indonesia (1983)
2) Pendiri dan Ketua Yayasan Mutiara Indonesia (1982-sekarang)
3) Pendiri dan Ketua Umum Yayasan Nakula Sadewa (1984-sekarang)
4) Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta
(1994-1997)
5) Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (1998-sekarang)
Kegiatan Lain:
1)
Sekretaris
Jenderal Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (1983-1985)
2)
Director
at-large International Council of Psychologists (1985)
3)
Anggota
International Society for Twins Studies (1985-sekarang)
4)
Anggota
Creative Education Foundation (1993-sekarang)
5)
Anggota
World Council for Gifted & Talented Children (1994-sekarang)
Buku : Anakku, Sahabat, dan Guruku (1997)
Penghargaan:
1) Orang
Muda Berkarya Indonesia, kategori Pengabdian pada Dunia Anak-anak dari Presiden
RI (1987)
2) The
Outstanding Young Person of the World, Amsterdam; kategori Contribution to
World Peace, dari Jaycess International (1987)
3)
Peace
Messenger Award, New York, dari Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar (1987)
4) The
Golden Balloon Award, New York; kategori Social Activity dari World Children’s
Day Foundation & Unicef (1989)
by :
Andrea Pramaditya Perwira P.
Oktavinta Warits Putri P.
Syifa Amanati Yusma.
by :
Andrea Pramaditya Perwira P.
Oktavinta Warits Putri P.
Syifa Amanati Yusma.