"seringgit" untuk kemerdekaan
Awal Kehidupan “Seringgit”
Ia
terlahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17
Februari 1888 dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan
dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan
dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di
depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih
kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi
seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Banyak
pemuda yang menaruh kasih dengan diberikan dalam bentuk uang yang rata-rata
jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan "Inggit" yang kemudian
menjadi nama depannya.
Terbakar
Api Cemburu
Inggit
muda kemudian merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Sanusi.
Namun, jalinan kasih keduanya tak berlanjut ke pelaminan. Inggit yang merasa
cemburu karena mendengar Sanusi akan dinikahkan dengan gadis lain, maka ia
menikah dengan Nata Atmadja.
Namun,
pernikahan Inggit dengan Nata tak berlangsung lama. Keduanya akhirnya bercerai
pada 1904. Di dalam lubuk hatinya, Inggit ternyata masih mencintai Sanusi. Tak
lama berselang, Sanusi akhirnya bercerai dengan istrinya. Inggit dan Sanusi
akhirnya menikah.
Awal
Kisah Kasih Seorang Pemuda Dengan Ibu Kos
Saat
itu, Inggit tengah menempuh rumah tangganya dengan H. Sanoesi. Sampai pada
akhirnya seorang pemuda datang dengan berbekal surat dari H.O.S Tjokroaminoto
untuk meminta keluarga H.Sanoesi menerima Soekarno sebagai anak indekos dalam
rangka student di HTS (sekarang ITB). Status Soekarno ketika itu masih
menjadi suami Oetari Putri, yaitu anak dari H.O.S Tjokroaminoto. Mereka “nikah
gantung”, Soekarno ternyata hanya menganggap Oetari sebagai adik, bukan sebagai
istri.
Cinta
adalah anugrah Tuhan sekaligus misteri, datang dan pergi begitu saja tanpa
pernah kita ketahui. Hal inilah yang terjadi dan kemudian menjadi prahara dan
masalah berat di antara H.Sanoesi, Soekarno dan Inggit. Soekarno tiba-tiba
jatuh cinta pada Inggit, begitu pula sebaliknya. Namun, dilandasi dengan
pengertian luhur dan keikhlasan yang suci, akhirnya H.Sanoesi menceraikan
Inggit, ia merelakannya menjadi pendamping Soekarno yang diyakininya kelak akan
memerdekakan dan memimpin Indonesia. Sementara itu, Soekarno menceraikan Oetari
dan mengembalikannya secara baik-baik pada H.O.S Tjokroaminoto. Adapun masalah
perselisihan usia mereka menjadi kendala, usia Inggit lebih tua 13 tahun di
atas Soekarno. Mereka tidak menyerah begitu saja, cinta tidak mengenal usia,
akhirnya mereka berdua menikah tanggal 24 Maret 1923. Demi mendapatkan restu
dari orang tua Inggit, dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno yang baru 22
tahun menjadi 24 tahun.
Cucuran
Keringat Bersama Soekarno
Inggit
harus membanting tulang dan memutar otak untuk mencukupi kebutuhan mereka
berdua. Kepandaian Inggit menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok,
meramu jamu, dan menjadi agen sabun dan cangkul kecil-kecilan terus
dimanfaatkan untuk mencari uang.
Keberhasilan Soekarno menamatkan
studinya di THS pada 1926, membuat Inggit senang tak terkira. Bagi Inggit,
kesuksesan Soekarno meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti
keberhasilannya mendampingi Soekarno. Namun, keberhasilan meraih gelar insinyur
itu tak dimanfaatkan Soekarno untuk meraih pekerjaan dari pemerintah Belanda.
Soekarno kukuh aktif di bidang politik dan mendirikan Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 yang kemudian berubah nama menjadi Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada Mei 1928. Soekarno hidup miskin karena lebih suka
berpolitik daripada mencari uang.
Berkat dukungan penuh Inggit, Soekarno
berhasil menjadikan PNI sebagai partai garis depan di era 1920-an. Kader PNI terus
bertambah dengan pesat sejak 1929. Inggit dengan sabar mendampingi dan
menerjemahkan perkataan Soekarno dalam tiap pidatonya ke bahasa Sunda saat itu.
Tak hanya itu, Inggit selalu memberi semangat kepada Soekarno saat menghadapi
kesulitan. Dia juga selalu menyediakan makanan, minuman, dan jamu-jamuan agar
Soekarno selalu sehat.
Perjuangan PNI yang kian progresif
ternyata mengganggu Belanda. Soekarno dan PNI dituduh akan melakukan revolusi.
Dia akhirnya ditangkap pada 29 Desember 1929 dan dijatuhi hukuman 4 tahun.
Soekarno kemudian dipenjara selama 8 bulan di Penjara Banceuy, Bandung,
kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Di penjara, Soekarno merasa
terperangkap dengan keadaan. Dia merasa kesepian dan mengalami kerapuhan yang
luar biasa. Namun, hal itu bukan justru membuat Inggit meninggalkannya. Meski
jarak rumah dengan Sukamiskin adalah 20 km, Inggit tetap datang mengunjungi
suami tercintanya. Terkadang Inggit harus berjalan kaki karena tak memiliki
cukup uang untuk membayar delman. Inggit yang kerap datang bersama Ratna Juami
atau Omi (anak angkat Soekarno dan Inggit) selalu membawakan makanan kegemaran
Soekarno, rokok dan jamu kesehatan.
"Waktu
aku melihat Koesno (panggilan kesayangan Soekarno oleh Inggit), inginnya aku merangkulnya,
memeluknya. Tapi berbagai hal menghalangi kami. Aku cuma mampu mengucapkan
kata-kata 'Apa kabar?' Suaraku terasa rendah. Barangkali akan mengelus hati
setiap orang yang mendengarnya. Tapi bagaimana pun aku mampu menahan diri,
untuk tidak menangis, juga untuk tidak berlinang air mata," kata Inggit
dalam buku 'Biografi Inggit Garnasih: Perempuan Dalam Hidup Soekarno' karya
Reni Nuryanti, terbitan Ombak. Berbagai cara dilakukan Inggit untuk meringankan
beban Soekarno, salah satunya adalah menyelipkan sejumlah uang dalam makanan,
agar Soekarno mendapat keistimewaan sebagai tahanan. Dengan uang itu, Soekarno
dapat membujuk penjaga untuk membelikannya koran dan membaca buku di
perpustakaan.
Selain itu, Inggit juga menyelundupkan
buku-buku yang diinginkan Soekarno. Untuk memasukkan buku tersebut ke penjara,
Inggit harus berpuasa selama tiga hari agar buku-buku tersebut dapat
diselipkannya di perut. Meski dirundung kesedihan, hal itu tak tampak di wajah
Inggit.
Inggit
tak pernah mengeluhkan kesulitan yang dihadapinya ke Soekarno. Wanita tangguh
itu terus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya, Omi, dan Soekarno.
Rasa frustasi yang kian dialami Soekarno membuat Inggit sedih. Wanita tangguh
itu akhirnya memberikan Soekarno Al-Qur’an agar bisa menentramkan jiwanya.
Akibat Al-Qur’an pemberian Inggit inilah Soekarno akhirnya dapat lebih mengenal
Islam di Sukamiskin. Pembubaran PNI pada 1930 membuat jiwa Soekarno terguncang.
Sebagai seorang istri, Inggit tak tega melihat pujaan hatinya terpuruk dalam
kesedihan. Dengan segenap hati, Inggit menghibur dan berusaha selalu ada untuk Soekarno.
Kisah
Klasik di Ende
Setelah
bebas dari penjara pada 1931, Soekarno langsung kembali ke dunia politik dengan
bergabung ke Partai Indonesia (Partindo) pada 1 Agustus 1932. Namun, hal itu
tak menjadi masalah bagi Inggit. Sebab, ia tahu pria yang dicintainya itu
memiliki jiwa di bidang itu. Kesibukan Soekarno berkeliling daerah semakin
membuat Inggit memeras keringat. Inggit bahkan rela menjual perhiasan dan
sebidang tanah miliknya. Namun, aktivitas politik Soekarno kembali membuatnya
ditangkap Belanda pada 1 Agustus 1933. Saat itu, Soekarno dituduh melakukan subversif.
Soekarno akhirnya dibuang ke Ende (Flores) pada Februari 1934. Inggit dengan
setia menemani Soekarno bersama dengan Ibu Amsi (ibu kandung Inggit) dan Omi.
Di Ende, Inggit tak tega melihat Soekarno
mengalami guncangan hebat. Kondisi psikologis Soekarno yang labil dirasakan
sebagai pukulan berat oleh Inggit. Dengan sabar Inggit menyemangati Soekarno.
Namun, ujian berat kembali datang kepada Inggit. Ibunda tercinta, Ibu Amsi,
meninggal dunia pada Oktober 1935. Hal itu menjadi pukulan berat bagi Inggit
dan Soekarno. Namun, Inggit berusaha tabah dan membimbing Omi dan Soekarno agar
tabah menerima. "Memang aku ajari mereka untuk tidak menangis jika ada
yang meninggal," kata Inggit.
Selang
berapa lama, kondisi Soekarno membaik. Soekarno mulai aktif di organisasi
Muhammadiyah di Ende. Soekarno juga kembali menyalurkan bakat seninya dengan
melukis dan sandiwara. Hobi tersebut tentu saja membutuhkan biaya yang tak
sedikit. Namun, hal itu tak menjadi halangan bagi Inggit agar kesedihan sang
suami hilang. Selain berjualan, Inggit juga sampai-sampai merelakan perhiasan
yang diberikan oleh Sanusi saat mereka bercerai.
Bengkulu
Kisah Baru
Inggit
kembali dilanda kesedihan saat Soekarno terkena malaria. Dia tak tahan melihat
pria kesayangannya tak berdaya akibat sakit yang dideritanya. Hal itu
mengakibatkan Soekarno dan keluarganya akhirnya dipindahkan Belanda ke Bengkulu
pada 1938 setelah didesak Mohammad Husni Thamrin.
Di Bengkulu, Soekarno dan Inggit hidup
layaknya orang kebanyakan. Soekarno boleh bekerja di bidang asitek dan
diizinkan menjalin kontak dengan ormas Muhammadiyah. Namun demikian, Soekarno
tetap harus meminta izin kepada Belanda jika hendak bepergian. Inggit menjadi
tempat berkeluh kesah Soekarno di Bengkulu. Sikap warga yang dinilai Soekarno
sangat konservatif dalam menjalankan agama dan menutup perkembangan zaman kerap
dikeluhkan oleh Soekarno kepada Inggit. Mendapat keluhan itu, Inggit hanya
mendengar dan memberi jawaban yang menenangkan dan menyenangkan hati suaminya.
Berbeda
dengan di Flores, di Bengkulu Soekarno dan Inggit dipandang sebagai kaum
intelek oleh warga. Soekarno bahkan aktif mengikuti diskusi dengan ormas
Muhammadiyah. Dia kemudian ditawari masuk ke Muhammadiyah. Hal ini ditandai
dengan kunjungan Ketua Muhammadiyah setempat, Hasan Din, bersama putrinya,
Fatmawati, ke rumah Soekarno. Dari pertemuan itu Soekarno akhirnya jatuh cinta
kepada Fatmawati dan lebih memilih menceraikan Inggit. Padahal Inggit memiliki
peran yang amat besar bagi perjalanan hidup Soekarno. Inggit selalu hadir saat
Soekarno susah. Inggit juga rela mengorbankan seluruhnya demi Soekarno yang
dicintainya itu.
Seorang
Diri Pulang ke Rahmatullah
Pada
saat itu, tidak pernah terbesit di pikiran Soekarno untuk menceraikan Inggit,
wanita yang telah menemaninya dengan setia selama 20 tahun baik suka maupun
duka. Namun Inggit tidak mau dimadu. Tidak berhasil menyelamatkan kemelut rumah
tangganya, Inggit akhirnya memutuskan untuk merelakan Soekarno suami yang
dikasihinya untuk menikah dengan Fatma, mereka bercerai pada 29 Februari 1942.
Sejak itu, selesailah tugas Inggit mengantar Soekarno sebagai pemimpin dan
Bapak Bangsa menuju gerbang kemerdekaan.
Inggit meneruskan perjalanan hidup dalam
kesendirian dan berusaha menghidupi kesehariannya dengan membuat bedak dan
jamu. Ruang dimana Inggit membuat bedak dan jamu tersebut masih dapat kita
saksikan di dalam rumah Inggit Garnasih. Beberapa hari setelah wafatnya
Soekarno, Inggit mengemukakan kepada wartawan bahwa harta pusaka peninggalan
Soekarno adalah “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat dan
bangsa kita”. Harta yang dimaksud adalah “kenangan yang tak terlupakan, yang
terus ibu simpan dalam hati dan menemani ibu masuk ke dalam kubur”, ucap
Inggit.
Inggit Garnasih pulang ke Rahmatullah
menyusul Soekarno pada tanggal 13 April 1984 di usianya yang ke 96. Kedua
jawaban Inggit di atas memang sangat tepat. Kalaupun banyak orang yang menerka
bahwa Soekarno meninggalkan harta, yang pasti adalah Kemerdekaan Bangsa
Indonesia. Jawaban kedua pun sangat tepat, karena tidak ada orang lain, tidak
ada wanita lain, bukanlah Fatmawati, Hartini ataupun Dewi yang memiliki
kenangan terindah bersama Soekarno, melainkan Inggit Garnasih seorang.
By :
Fajar Nursodiq
Ni`matul Azizah
Tedy Tri Wibowo